The past and me... (part 2)
Touji Elementary School, ya? Sekolah ini nampaknya
lebih besar dari kelihatannya. Ya, ini hari pertamaku disini. Sejenak, aku
menghela nafas. Beragam delusi mulai menyerangku. Phobia akan kehadiran orang
lain terus menghantui. Khayalan seperti aura hitam mulai menyeruak dari dalam
kelas 4A itu segera membuat bulu kudukku berdiri.
Kuberanikan
diri melangkah perlahan menuju kelas. Kakiku berguncang hebat. Keringat dingin
terus menetes di pelipisku. Rasa-rasanya bajuku semakin basah saja. Seramai
apapun situasi saat itu, rasanya tetaplah sunyi. Pandangan-pandangan
menyeramkan –hasil dari delusi– dari orang disekitarku mulai menghantui.
Tap,tap,tap...
Hanya
suara langkah kakiku yang terdengar. Perlahan, aku mulai berbelok, masuk
kedalam kelas. Kepalaku menunduk dalam. Bibir ini kugigit keras-keras. Tasku
kugenggam erat-erat. Dan tiba-tiba...
Anak
itu berlari dan menabrakku dalam keadaan memeluk. Ugh..., memalukan. Untung
saja aku ini kuat jadi walau dia laki-laki tapi kakiku tetap bertahan agar tak
jatuh. Tahukah kalian siapa itu? Dia anak yang kemarin. Penduduk Jalan Touji
nomor C28, Rikumichi. Wajah naifnya tersenyum lebar, bercahaya, seputih dan
sejernih air mukanya. Satu lengannya memeluk pundakku.
“Hei,
kau lama sekali. Aku sudah menunggumu dari tadi!” Kata anak itu tersenyum
lebar, menyodorkan kepalan tangan padaku. Aku hanya memandang tak mengerti. Tak
mau mengeluarkan sepatah kata pun.
“Kau
tahu? Ini tos terkenal tahu! Kepalkan tanganmu seperti ini, dan
tabrakkan saja kepalan tanganmu pada kepalanku sekeras besarnya semangatmu hari
ini!” Rikumichi mempraktekkan apa yang dikatakannya. Ekspresi bingung jelas
terlukis pada wajahku. Sempat terbersit rasa kagum pada anak yang satu ini.
Dengan
perasaan campur aduk kulakukan apa yang disuruhnya dengan lemah, namun ia malah
menyuruhku melakukannya lebih keras. Agar bisa merasakan semangatmu, katanya.
Padahal jujur saja, aku tak punya semangat sama sekali untuk bersosialisasi,
apalagi bersekolah. Apa boleh buat, untuk sekedar memuaskannya, aku tos
lebih keras. Dia pun tersenyum lebar sampai terlihat giginya yang berkilat,
semangatnya membara. Dengan bangga ia mengacungkan jempol padaku. Apa yang salah
dengan anak ini?
“Dengan
ini kita resmi sebagai teman, teman sekelas, sahabat, dan adik. Aku beruntung
bisa bertemu denganmu... bla bla.” Ia berbicara panjang lebar, yang
jujur saja justru membuatku tak berkonsentrasi untuk menangkap kata-katanya. Hanya
beberapa kata yang sempai kutangkap. Apa yang ada kutangkap hanyalah segerombol
omong kosong dari mulutnya. Tidak, sebenarnya aku lebih percaya bahwa kata-kata
itu takkan bertahan lama.
Bosan,
aku meninggalkan dia yang sedang nyerocos itu, cuek. Berjalan perlahan,
memandang langit-langit kelas ini. Membiarkan pandanganku berkeliling pada
kelas ini. Sedang yang ditinggal hanya bengong melihatku. Tak peduli, aku
meneruskan langkahku.
Kelas
ini nampaknya lebih pantas disebut gudang. Bukannya sombong, bahkan dulu aku
pernah tinggal di rumah yang seperti ini, ukurannya pun lebih kecil. Tetapi bau
debu menyeruak menembus hidung. Sebagai anak yang alergi, ini sudah suatu
keberuntungan besar karena aku tidak mengalami tanda-tanda alergi sampai saat
ini. Aneh.
Kayu-kayu
yang jadi penopang utama kelas ini, yang berperan sebagai tembok, lantai, juga
sebagai kerangka atap terlihat rapuh dimakan hujan dan usia. Bau sampah
menyeruak masuk. Asbes yang bersandar pada dinding luar penuh dengan grafiti
tak pantas. Padahal, kelas lain lebih nyaman dengan penuh dengan fasilitas
memadai. Kelas ini terasa seperti kutukan, walau abjadnya A, menunjukkan bahwa
seharusnya ini kelas paling awal, paling unggul, dan paling dihormati.
Sebenarnya,
kelas ini agak terpisah dari gedung utama.
Mau
bagaimana lagi? Aku hanya bisa pasrah. Keadaan keuangan keluargaku sedang
kritis sekarang. Seakan tak bisa menolak, diriku “dibuang” di kelas ini karena
biayanya kurang. Huft, ini sulit. Oh ya, setahuku anak bernama Rikumichi itu
kaya. Lalu, kenapa dia bisa disini?
“Hei,
daripada melamun lebih baik kau duduk di kursi sampingku ini.” Kata-katanya
membuyarkan lamunanku.
“Oh,
baik.” Jawabku singkat, cuek. Berjalan sekenanya menuju bangku kosong yang
sepertinya sudah disiapkan untukku itu.
Menunggu
bel masuk, aku menopang kepalaku dengan tangan. Ekspresiku keruh. Ingin rasanya
cepat pulang, walau sebenarnya aku haus akan ilmu. Hal yang paling kubenci dari
hari pertama di sekolah baru, perkenalan di depan kelas. Pasti akan disambut
dengan hujatan, cacian, pandangan mengejek, dan apalah itu namanya. Yang jelas,
itu akan mengawali hal yang menjadi phobiaku. Sejenak, ingatanku
melayang pada permulaan aku mulai hidup berpindah-pindah....
“Haha!
Dasar anak aneh! Disitu tidak ada apapun, tahu! Lagipula, anak yang lemah
sepertimu apa pantas untuk dipercaya, ha?” Seisi kelas tertawa. Tawa yang terus
terngiang dalam ingatan. Aku ingat benar saat itu adalah waktu setelah
olahraga.
Kesal,
marah, campur aduk. Itulah yang kurasakan. Gigiku gemeretak. Tanganku bergetar
hebat, mengepal. Wajahku merah padam. Rasa-rasanya, aura mengerikan sedang
menyelimutiku sekarang. Aku telah dikendalikan oleh rasa marahku.
Kepalan
tanganku kupukul keras pada pintu kayu kelas. Suara berdebam seakan mendengung,
memenuhi telinga kami semua. Tapi aku tak peduli. Apa mereka tidak bisa
membayangkan betapa marahnya aku?
Sejak
kapan aku dikucilkan seperti ini?
Sunyi,
hening sesaat. Ada sedikit pandangan takut. Mereka tak habis pikir anak sekecil
diriku bisa menimbulkan bunyi berdebam sedemikian kerasnya. Namun perlahan, ada
tawa pelan dari satu anak. Semakin lama semakin keras, diikuti anak lainnya.
Seisi kelas pun kembali terisi oleh tawa-tawa kejam dari mereka. Mereka tertawa
membabi buta, seperti kesurupan.
Menyadari
sesuatu, aku segera mundur. Mengambil ancang-ancang dan timing yang
tepat. Otot-ototku kembali lemas. Tapi, persis seperti yang kuduga, ada anak
yang maju dengan beraninya. Tatapannya keruh, sadis, seperti seorang psikopat.
Senyumnya kejam, membuat siapa saja yang
melihatnya merasa takut.
“Ada
apa, anak kecil? – “ Suaranya bercampur. Entah efek apa, tapi suara asli anak
itu bercampur dengan suara... yang aku sendiri tak bisa menebak dari mana
asalnya. Mungkin seperti suara yang
tercampur suara efek video yang diputar lebih lambat dari kecepatan asli.
Bedanya, ini nyata. Keningku berkerut.
“Kau
takut? Sini, lawan aku!” Nadanya seperti mengejek. Aku menggeram pelan.
Barangkali ini akan jadi akhir duniaku. Jelas, aku tak punya kekuatan sama
sekali untuk melawannya. Terpojok, kali ini hatiku pasrah. Mencoba untuk
bersikap tetap berani, apapun akhir yang terjadi.
Aku
diam sesaat, mengumpulkan sisa-sisa kekuatan yang ada.
“Keluar
dari temanku, sialan!” Aku menggeram liar, berteriak sekuat tenaga. Tangan
kanan kulesatkan kesamping menunjukkan ketegasanku. Bersamaan dengan itu, anak
itu terlempar. Entah apa yang terjadi, gerakannya mengikuti gerakan tanganku.
Untungnya, di dinding kelas ada matras yang dititipkan guru olahraga pada kelas
kami. Beruntung, ia tak mengalami benturan yang berarti karena mendarat pada
matras yang empuk itu. Tapi tetap saja suara “bum!” hasil dari tubrukan anak
itu dan matras tak dapat dihindari.
Sejenak
aku merasa lega. Tapi di lain sisi..., apa akulah penyebabnya?
“Kurang
ajar!!” Mulut semua anak di kelasku menganga keatas, mengeluarkan aura hitam
yang berlalu pergi. Mereka mendadak lemas, berjatuhan di lantai. Sempat
terpikir, mengapa hanya diriku yang tidak terkena pengaruh jahat itu?
Mendadak ada suara orang
berlari. Mungkin panik karena bunyi berdebam tadi. Tak tahu apa yang harus
kulakukan, aku berdiri di tempat. Shock melihat keadaan sekitar. Ternyata
orang tadi adalah guru olahraga kami. Beliau shock juga melihat keadaan
kelas. Saat melihatku, ada sebersit pandangan takut. Mungkin beliau mengira
akulah penyebab semua ini. Tanpa bertanya apapun padaku, beliau mengusirku
pergi.
Dan tanpa bertanya juga, aku
pun pergi secepatnya menuju halaman kosong agak jauh dibelakang sekolah. Tempat
sebatang pohon sakura tumbuh dengan cantik. Tempatku menenangkan diri.
Aku meringkuk dibawah pohon
sakura. Memeluk kaki, menangis sejadi-jadinya. Mencoba mengerti apa yang sedang
terjadi. Setelah tenang, aku menyadari beberapa hal yang telah terjadi. Tapi,
lebih banyak lagi yang tak kumengerti. Apapun itu, saat aku mengayunkan tangan,
temanku itu terhempas mengikuti gerakan tanganku. Jujur, aku tak ada niat untuk
mencelakakannya. Ditambah lagi, kenapa mereka semua bertingkah seperti kesurupan?
Perlahan, kubulatkan tekadku
seperti tadi. Aku ingin kembali ke sekolah, menjelaskan apapun yang terjadi. Tapi
sebelum itu, mengetes adegan tadi rasa-rasanya tak masalah. Sambil mengayunkan
jari telunjuk ringan ke kanan dan kiri, ku berucap:
“Mohon bantuannya...”
Semenjak itulah pohon sakura itu jadi pohon harapanku.
– Bersambung –
Catatan Auth: Maaf banget updatenya kelewat lama >< ini baru ada laptop buat ngetik //bletak. Semoga suka ya...