Rezeki Sudah Ada yang Mengatur
Pada
pagi hari di Pasar Waru terlihat tiga penjual pakaian yang berlomba menjajakan
dagangannya. Darti dan Ijah saling berebut pelanggan dengan berteriak untuk
menarik perhatian pengunjung. Berbeda dengan Paimin yang berbicara dengan
santai, duduk manis, dan sabar menanti pelanggan. Ia sengaja berperilaku
demikian karena prinsipnya yaitu tidak mau merebut pelanggan orang lain.
Ijah :
“Ayo dibeli... dibeli... baju berkualitas, model terbaru, harga terjangkau.”
(sambil menunjukkan dagangannya)
Darti : “Jangan, beli di sini saja.
Barangnya di situ jelek, buluk lagi.” (dengan wajah sinisnya melihat ke arah
Ijah)
Ijah :
“Eh..., enak saja kalau bicara. Barangnya situ kali yang buluk, mahal lagi.”
Paiman : “Aduh..., pagi – pagi udah ribut saja.
Sabar dong, nanti pelanggannya juga datang sendiri.”
Di saat
Ijah dan Darti beradu mulut, datanglah seorang pembeli bernama Citra yang
datang melihat – lihat dagangan milik Ijah.
Citra :
“Permisi, saya mau beli baju buat anak umur 13 tahun. Ada kan Bu?.”
Ijah : “Oh ya, di sini
lengkap, Bu. Silahkan dipilih ini keluaran terbaru lho, impor dari Korea,
harganya juga terjangkau kok Bu.”
Darti :
“Alah, pasti barangnya itu palsu semua. Mendingan juga beli ke saya.”
Ijah :
“Oh tidak bisa, ya harus beli ke saya dong.”
Darti : “Hey Ijah, emang pasar ini punya
nenek moyang kamu, apa?.” (sambil melotot ke Ijah)
Citra : “Eh, Bu ini saya mau beli kok situ
malah ribut sendiri.” (dengan wajah bingung)
Paimin :
“Ya kan, setiap hari kok kerjaannya ribut aja.” (sambil menyeka keringat)
Ijah : “Itu salahnya Darti
yang seenaknya aja rebut pelanggan orang.” (dengan wajah sinis)
Darti : “Heh, kalau ngomong itu dijaga ya.
Nuduh orang sembarangan.” (marah mendengar tuduhan Ijah)
Citra : “Aduh, sudah aku pergi ke penjual
itu saja,” (dengan kesal pergi ke arah dagangan Paimin)
Ijah
dan Darti terlihat kecewa dan bingung. Mereka berusaha menarik kembali minat
pembeli tersebut.
Ijah : “Lho... mbak, sini
aja. Kok malah pergi ke lapaknya Paimin sih.” (dengan wajah bingung)
Darti :
“Eh... lho... lho... mbak!. Aduh!.” (terlihat kesal)
Paimin : “Sudahlah, rezeki sudah ada yang
ngatur. Ingat, pembeli adalah raja. Jadi terserah dia mau beli ke siapa.”
Darti : “Oh, kamu modus ya. Gitu cara kamu
narik pelanggan? Sok baik, sok bijak. Ternyata itu hanya akal bulus saja kan!.”
Ijah :
“Ah iya tuh, munafik.”
Paimin
pun merasa harus menjelaskan apa yang dia lakukan itu tidak ada maksud untuk
merebut pelanggan ataupun bersikap modus kepada Ijah dan Darti.
Citra :
“Terus saya ini harus gimana? Beli di sini salah, di situ salah.”
Ijah : “Sudahlah Darti,
biarkan pembeli itu yang milih mau beli ke siapa. Apa yang Paimin bilang itu
ada benernya.”
Darti :
“Alah... kamu mau modus juga kan kayak Paimin yang sok bijak.”
Paimin :
“Astaghfirullah... apa lagi ini. Masa semua dibilang modus.”
Ijah :
“Yang tulus kok malah dikira modus.”
Ijah
sudah mulai sadar sedangkan Darti masih merasa keberatan.
Citra :
“Saya di sini mau membeli bukan mau mendengarkan kalian cek cok.”
Paimin : “Sudahlah, biar adil dan beradab sesuai
dengan sila ke 2 Pancasila, begini saja, mbaknya yang imut – imut ini beli
celananya di saya, beli kemejanya di Mbak Darti, beli roknya di Mbak Ijah.
Begitu saja kok repot.”
Citra : “Okelah kalau begitu, saya beli
satu – satu. Santai – santai.” (sambil membeli dagangan ketiga penjual itu)
Darti :
“Ah... Paimin pinter banget. Kalau gini kan adil.” (sambil tertawa)
Paimin :
“Makasih makasih...”
Ijah : “Ah... konyol kalian.
Yah... tapi gak apa apalah yang penting kita dapat untung tanpa harus iri satu
sama lain.”
Paimin :
“Tapi janji ya, besok jangan ribut lagi. Awas nanti kualat lho.”
Ijah dan Darti : “Oke deh, sip! sip! sip!.”
Sejak
saat itu mereka tidak pernah ribut lagi walaupun tetap bersaing mendapatkan
pembeli, namun dengan cara yang sehat.
Credit to the owner :
BalasHapusDiana Nuria Putri and Rachma Anni Ziyana ^_^