Gebyar
Muharram
Hari
ini, aku bersama Aliya, Shihab, Rouf/Roup, Ghulaman/Thariq, dan Lutfi akan
mengikuti acara Gebyar Muharram di SMPN 1. Aku mengikuti lomba MTQ (Musabaqah
Tilawati Qur’an). Sedangkan Aliya, Shihab, dan Roup mengikuti CCI (Cerdas
Cermat Islam). Ghulaman mengikuti lomba kaligrafi, dan Lutfi mengikuti PILDARAJA
(Pilihan Da’i Remaja). Ini merupakan lomba ke enam yang aku ikuti (kalau tidak
salah).
Aku
berangkat dari rumah di jam 6 pagi, seperti biasanya. Setelah sampai di
sekolah, aku panik. Aku langsung membuka laptop dan mendengarkan qiro’ah.
Maklum saja, waktu latihanku hanya 2 hari. Apalagi, surah dan ayat untuk
qiro’ah ditentukan oleh panitia. Aku memilih surah Al-Baqarah ayat 183-185.
Sedangkan Aliya dan Roup datang agak siang. Sama seperti aku, setelah mereka
sampai di sekolah, mereka langsung belajar untuk lomba. Berbeda dengan Shihab,
ia datang siang dan terlihat santai sekali. Sama sekali tak terlihat kepanikan
di wajahnya. Seolah tak ada yang akan terjadi. Aku terheran-heran dengan sikap
Shihab yang satu ini. Dasar, kalau seperti ini mana bisa menang, desahku.
Bel
masuk berbunyi. Aku terburu-buru mematikan laptopku. Setelah guru IPA masuk,
aku dan teman-teman segera membersihkan kelas. Setelah selesai, kami membaca
Al-Qur’an seperti biasanya. Setelah membaca Al-Qur’an, Aliya panik karena tidak
ada panggilan untuk kami sedangkan waktu sudah menunjukkan pukul 8 kurang
seperempat. Aliya mengajakku keluar untuk mencari Bu Nur Sholikhah karena Bu
Nur Sholikhah tahu tentang lomba. Kami keliling sekolah untuk mencari Bu Nur,
tapi tidak ketemu. Setelah itu, kami ke bagian depan sekolah dan berhasil
menemui Bu Nur. Bu Nur menyuruh kami untuk memanggil Shihab dan Roup ke situ.
Setelah itu, kami memanggil Shihab dan Roup. Ucapan demi ucapan mengalir dari
teman-teman saat kami keluar kelas. Setelah itu kami duduk-duduk di taman depan
menunggu Bu Nur karena beliau harus mengajar sebentar di kelas 7.
Kami
menunggu lama sekali. Pertama-tama kami belajar dulu di taman. Lalu setelah
bosan, kami bercerita tentang pengalaman kami. Sebenarnya mereka menyesal,
kenapa aku tidak ikut CCI saja. Padahal aku ini cukup bisa ilmu agama. Tapi
bagaimana lagi, aku sudah diikutkan lomba MTQ. Lama-lama Aliya panik karena
kami tidak segera berangkat. Tapi Shihab tetap santai bahkan ia tidur-tiduran
di taman. Aku hanya bisa mendengus melihat kelakuan Shihab. Aku bahkan heran,
kenapa dia bisa diikutkan CCI padahal dia seperti itu. Tak lama kemudian, Bu
Nur datang dan meminta kami untuk memanggil Lutfi, anak kelas 7. Setelah
memanggil Lutfi, kami menunggu kedatangan Pak Eko karena Pak Eko-lah yang mengantar
kami. Tak lama kemudian, Pak Eko datang membawa mobilnya. Sebenarnya mobil itu
hanya muat maksimal 6 orang. Tapi jika kami (kecuali Ghulaman karena ia diantar
ibunya ke tempat lomba), Pak Eko, dan Bu Nur dijumlahkan, maka hasilnya adalah
8 orang. Terpaksa kami harus berdesak-desakan. Ternyata tidak cukup juga. Rouf
akhirnya duduk di bawah.
“
Aduh ooppp....oopp....” Teriakku kencang-kencang karena Roup menduduki kakiku.
Tapi akhirnya aku diam. Lagipula perjalanan ke SMPN 1 hanya sebentar. Diperjalanan
kami bercerita sedikit. Tak lama kemudian, kami sampai di SMPN 1. Terdapat
spanduk bertuliskan Gebyar Muharram yang di gantung di gapura pintu masuk. Lalu
kami masuk ke dalam. Suasananya sepi sekali.
“
Al, masa lalu kita ya.” Kataku kepada Aliya. Memang sekolah ini adalah masa
laluku dan Aliya. Kami sempat mendaftar sekolah akselerasi disini. Sayangnya
kami tidak diterima karena tes kami ada yang gagal. Tapi sekarang aku malah
bersyukur tidak diterima di akselerasi. Maklum saja, di sekolahku, SMPN 2 saja
aku sudah merasa keberatan dengan pekerjaan rumahnya. Apalagi kalau di sini.
Tentu akan lebih berat lagi. Karena sekolah yang seharusnya ditempuh tiga
tahun, hanya bisa ditempuh dua tahun. Tugas akan semakin berat.
Kembali
ke lomba. Ternyata suasana sepi yang tercipta di bagian depan SMPN 1 itu
dikarenakan pembukaan sudah berlangsung. Setelah itu kami diberi nomor peserta.
Semua mendapatkan nomor 16. Lalu kami duduk di musholla spiji (singkatan dari
SMPN 1 itu) dan bertemu dengan Ghulaman. Baru saja kami duduk, acara pembukaan
ditutup. Disusul dengan pengumuman tempat lomba. Tempat lomba CCI, kaligrafi ,dan
PILDARAJA berada di dalam area spiji. Sedangkan tempat lomba MTQ berada di musholla
kantor dinas yang berada di depan spiji. Aku mendengus lagi. Kali ini
benar-benar mendebarkan. Terpisah dari teman-teman saat lomba dan tempat
lombanya berada di kantor dinas. Aku hanya bisa menerima apa adanya.
Setelah
sampai di sana, aku menunggu sambil duduk di depan musholla dinas sambil
menahan rasa deg-degan yang terus menghantui. Lama sekali, pikirku. Sekitar
setengah jam kemudian, juri lomba datang meyiapkan segala keperluan lomba. Lalu
membuka acara tersebut. Sebenarnya ada yang kurang dari keperluan lomba, yaitu
lampu. Tapi panitia akan menggantinya dengan ketukan. Saat lomba dimulai,
ternyata peserta nomor 1 sampai 3 tidak datang. Jadi langsung peserta nomor 4
yang maju. Di tengah lomba, aku menyadari ada yang salah. Panitia tidak memberi
ketukan. Tapi menurutku itu tidak masalah. Nyatanya, itu tak mengganggu jalannya
lomba sama sekali. Aku menunggu giliran sambil sesekali menguap. Sepertinya aku
terlalu capek untuk deg-degan. Tiba saatnya peserta nomor 13. Setelah itu,
panitia memanggil peserta nomor 15 yang berarti peserta nomor 14 tidak datang.
Deg!! Itu berarti setelah itu adalah giliranku. Rasa kantuk yang menyelimutiku
seketika berubah menjadi deg-degan. Aku menunggu peserta nomor 15 selesai
dengan tangan yang dingin sedingin es.
Peserta
nomor 15 selesai menampilkan performanya. Kini giliranku. Aku menarik nafas
panjang-panjang untuk meredakan deg-deganku ini. Entah kenapa, kalau lomba aku
selalu begini walaupun ini sudah yang keenam kalinya. Sama seperti jika aku
maju di presentasi di depan teman-temanku. Mungkin aku punya demam panggung
yang sulit di sembuhkan. Huhh... benar-benar merepotkan.
Kembali
ke lomba, aku membuka Al-Qur’anku. Lalu aku memegang microphone. Ternyata demam
panggungku ini belum hilang. Microphone yang ada di tanganku ini bergetar,
walaupun mungkin gerakan itu hampir tidak bisa dilihat orang lain. Aku mulai
menampilkan performaku, walaupun dengan perasaan gugup. Tapi untunglah, aku
berhasil melaluinya dengan lancar. Bahkan lebih lancar dari biasanya. Biasanya
suaraku akan agak melenceng di nada tertinggi. Tapi untunglah hal ini tidak sampai
terjadi.
Setelah
aku selesai tampil, Bu Nur mengajakku kembali ke spiji. Tentu saja aku
mengiyakan. Aku ingin segera melihat teman-teman saat berlomba. Tapi setelah
aku sampai di spiji, raut wajah Aliya, Roup, dan Shihab sangat aneh. Mereka
langsung mendatangi Bu Nur dan berkali-kali meminta maaf. Wajah mereka juga
terlihat panik. Aku sampai terheran-heran sendiri.
“
Bu, maaf bu.... kami tidak lolos.”
“
Iya Bu, maaaffff banget bu....”
“
Aduh, mau ditaruh mana muka kita....”
Mereka
semua mengatakan semua itu hampir bersamaan dengan muka yang terlihat panik,
murung, dan pucat pasi. Semua itu mungkin berat bagi mereka. Mereka terlalu
berat menerima kenyataan pahit itu. Tentu aku juga memakluminya. Dulu waktu aku
berlomba pertama kalinya, aku juga sangat takut kepada kekalahan. Aku takut
mengecewakan guru yang mendampingiku dan ternyata benar, aku kalah di babak
kedua. Tapi perkataan guru yang mendampingiku itu membuat rasa takutku pada
kekalahan hilang tak berbekas. Padahal itu hanya beberapa kata. Yah... itulah
guruku. Walaupun beliau terkenal agak galak, tapi aku tidak berpikir demikian
dan pikiranku itu terbukti benar. Beliau membuatku bertahan di saat lomba
sampai sekarang meskipun sekarang aku sudah SMP. Sebenarnya aku ingin
menerapkan perkataan beliau untuk teman-temanku ini. Sayangnya aku tidak punya
nyali untuk mengatakannya. Nyaliku telah menciut sejak lomba tadi. Terpaksa aku
membiarkan hal ini terjadi, walaupun aku tidak menginginkannya.
Setelah
itu Aliya membagikan uang yang diberikan Bu Nur kepada kami. Masing-masing anak
Rp 10.000. Lalu Aliya mengajak kami ke kantin spiji. Aku dan Lutfi mengiyakan.
Sedangkan Shihab dan Roup manolak. Mereka memilih melihat Ghulaman melukis
kaligrafi walaupun sebenarnya Ghulaman sudah hampir selesai. Sepertinya mereka
masih terpukul dengan kekalahan mereka. Aku, Aliya, dan Lutfi pergi ke kantin
spiji tanpa mereka. Suasana di kantin spiji agak suram. Maklum saja, aku ini
orang yang bisa merasakan kehadiran hal-hal seperti itu. Hanya saja jika soal
kesedihan, mungkin aku bisa menahannya karena aku sempat mengalami kesedihan
yang sangat mendalam dan bertahun-tahun. Kembali ke kantin. Aku memutuskan
untuk membeli permen dan minuman. Sedangkan Aliya dan Lutfi membeli makanan
ringan dan minuman. Setelah itu, kami keluar dan langsung berkumpul bersama
yang lainnya. Ghulaman sudah terlihat membereskan alat lukisnya. Padahal
waktunya masih lama. Kulihat lukisannya, benar-benar indah. Hanya saja
kaligrafinya (maaf) agak jelek. Aku takjub padanya. Dia bisa melukis serumit itu
dengan waktu yang sesingkat ini.
Roup
dan Shihab sudah tidak terlihat sedih lagi dan mereka sudah mau memakan sesuatu
walaupun itu meminta kepada kami. Mungkin karena kesedihan mereka belum
sepenuhnya hilang. Makanya mereka malas ke kantin spiji. Tapi kasihan juga
mereka, harus merasakan ini semua. Tapi aku yakin ini akan segera berakhir.
Karena kami semua sudah berkumpul, kami memulai pembicaraan.
“
Tadi itu waktu aku ke kantin, penjaganya jutek banget.” Kata Lutfi memulai
pembicaraan.
“
Tadi, aku liat ada guru yang mukanya menyebalkan banget. Dia pakai kacamata dan
cara jalannya itu lo, lucu banget. Kayak gini.” Kata Roup melanjutkan
pembicaraan sambil memperagakan cara berjalan guru yang dilihatnya itu. Kami
semua tertawa tapi Roup celingak-celinguk. Memastikan kalau guru yang
dimaksudnya itu tidak ada di dekatnya. Untung saja guru yang dimaksudnya itu
tidak ada di dekat kami. Tapi tiba-tiba Roup memandangi sesuatu.
“
Liat, itu dia guru itu!” Kata Roup sambil menunjuk seorang guru yang berada di
musholla. Spontan kami langsung mengarahkan pandangan kepadanya. Untung saja
jarak kami jauh dari guru itu sehingga
kelakuan kami ini mungkin tidak ketahuan olehnya. Memang benar yang dikatakan
Roup. Guru itu terlihat lucu dari penampilan, tapi terlihat galak dari wajah.
Sekarang guru itu terlihat panik karena anak didiknya yang mengikuti lomba
kaligrafi mengalami kekurangan bahan yaitu cat pernis. Cat pernisnya tidak bisa
dipakai. Langsung saja teman guru itu mengambilkan pernis lainnya. Enak sekali
anak itu, desahku.
Suasana
yang semula suram karena rasa bersalah dan kesedihan yang terpancar dari wajah
Aliya, Roup, dan Shihab seketika berubah menjadi suasana yang penuh canda tawa
dan senyuman. Aku pun tak pernah berbicara seluwes ini kepada mereka semua.
Apalagi jika kepada Lutfi, anak kelas 7 yang baru kukenal hari ini dan kepada
Ghulaman. Aku baru kali ini bicara padanya. Seperti inilah aku jika dalam
perlombaan. Tiba-tiba bisa berinteraksi dengan mudah padahal biasanya malah
kebalikannya. Ya, aku ini orang yang sulit berinteraksi. Hanya saja, jika lomba
seperti ini, aku merasa senang sekali dan secara otomatis aku dapat
berinteraksi dengan mudah kepada mereka.
“
Kalian nggak pulang?” Tanya Bu Nur.
“
Pulang Bu. Tapi jangan sekarang, karena kami nggak bawa pelajaran.” Jawab kami
serempak.
“
Nanti pulangnya diantar suami Bu Nur atau jalan kaki?” Tanya Bu Nur lagi.
“
Jalan kaki saja bu.” Jawab Aliya, Shihab, dan Roup. Aku tahu maksud mereka.
Mereka ingin mengulur waktu pulang ke sekolah dengan jalan kaki agar tidak ikut
pelajaran. Aku tertawa dalam hati.
Tak
lama kemudian, kami memutuskan untuk pulang ke sekolah. Sepanjang perjalanan
kami terus mengobrol, tak peduli apa yang dibicarakan untuk membuat perjalanan
ini semakin asyik dan ramai. Ditengah perjalanan, Roup dan Shihab berhenti di
sebuah toko. Sepertinya mereka lapar karena tadi mereka tidak membeli makanan
dan minuman di spiji. Aliya juga ikut membeli. Kami melanjutkan perjalanan
lagi. Tapi tiba-tiba Shihab usil. Dia merebut minuman soda milik Roup karena
minumnya sudah habis. Lalu mengocoknya hingga berbusa dan membukanya. Mereka
berdua berebut meminum soda yang tumpah itu. Jorok sekali.
Hanya
berselang beberapa menit, kami sampai di sekolah kami. Ternyata capek juga
berjalan dari spiji ke sekolah. Ternyata perkiraan waktu kami tepat. Bel pulang
sekolah baru saja berbunyi yang tandanya kami tak usah mengikuti pelajaran hari
ini. Aku langsung membeli makanan pesanan ibu dan adikku. Tapi ada panggilan
dari dalam sekolah agar semua murid segera masuk ke kelas masing-masing. Aku
berlari ke kelas. Ucapan dari teman-teman menyambutku. Lalu dipimpin kepala
sekolah, kami berdo’a bersama agar guru kami dapat mengikuti tes CPNS besok
dengan lancar. Setelah itu, aku turun dan keluar dari sekolah dan pulang dengan
menaiki angkot. Tanda tanya besar menyelimuti hatiku.
“
Apakah aku bisa menang kali ini?”
--Terima Kasih Telah Membaca ^_^--
-- Mohon Maaf Sebesar-Besarnya Jika ada
Kesalahan dalam Cerpen saya ini--
Terima kasih buat Roup, Aliya, Shihab, Bu Nur, dll yang ada di cerpen ini. Karena kalau nggak ada kalian, cerpen ini nggak bisa jadi ^_^
BalasHapus