Total Tayangan Halaman

Minggu, 10 November 2013

Cerpen : Gebyar Muharram



Gebyar Muharram
           
Hari ini, aku bersama Aliya, Shihab, Rouf/Roup, Ghulaman/Thariq, dan Lutfi akan mengikuti acara Gebyar Muharram di SMPN 1. Aku mengikuti lomba MTQ (Musabaqah Tilawati Qur’an). Sedangkan Aliya, Shihab, dan Roup mengikuti CCI (Cerdas Cermat Islam). Ghulaman mengikuti lomba kaligrafi, dan Lutfi mengikuti PILDARAJA (Pilihan Da’i Remaja). Ini merupakan lomba ke enam yang aku ikuti (kalau tidak salah).
Aku berangkat dari rumah di jam 6 pagi, seperti biasanya. Setelah sampai di sekolah, aku panik. Aku langsung membuka laptop dan mendengarkan qiro’ah. Maklum saja, waktu latihanku hanya 2 hari. Apalagi, surah dan ayat untuk qiro’ah ditentukan oleh panitia. Aku memilih surah Al-Baqarah ayat 183-185. Sedangkan Aliya dan Roup datang agak siang. Sama seperti aku, setelah mereka sampai di sekolah, mereka langsung belajar untuk lomba. Berbeda dengan Shihab, ia datang siang dan terlihat santai sekali. Sama sekali tak terlihat kepanikan di wajahnya. Seolah tak ada yang akan terjadi. Aku terheran-heran dengan sikap Shihab yang satu ini. Dasar, kalau seperti ini mana bisa menang, desahku.
Bel masuk berbunyi. Aku terburu-buru mematikan laptopku. Setelah guru IPA masuk, aku dan teman-teman segera membersihkan kelas. Setelah selesai, kami membaca Al-Qur’an seperti biasanya. Setelah membaca Al-Qur’an, Aliya panik karena tidak ada panggilan untuk kami sedangkan waktu sudah menunjukkan pukul 8 kurang seperempat. Aliya mengajakku keluar untuk mencari Bu Nur Sholikhah karena Bu Nur Sholikhah tahu tentang lomba. Kami keliling sekolah untuk mencari Bu Nur, tapi tidak ketemu. Setelah itu, kami ke bagian depan sekolah dan berhasil menemui Bu Nur. Bu Nur menyuruh kami untuk memanggil Shihab dan Roup ke situ. Setelah itu, kami memanggil Shihab dan Roup. Ucapan demi ucapan mengalir dari teman-teman saat kami keluar kelas. Setelah itu kami duduk-duduk di taman depan menunggu Bu Nur karena beliau harus mengajar sebentar di kelas 7.
Kami menunggu lama sekali. Pertama-tama kami belajar dulu di taman. Lalu setelah bosan, kami bercerita tentang pengalaman kami. Sebenarnya mereka menyesal, kenapa aku tidak ikut CCI saja. Padahal aku ini cukup bisa ilmu agama. Tapi bagaimana lagi, aku sudah diikutkan lomba MTQ. Lama-lama Aliya panik karena kami tidak segera berangkat. Tapi Shihab tetap santai bahkan ia tidur-tiduran di taman. Aku hanya bisa mendengus melihat kelakuan Shihab. Aku bahkan heran, kenapa dia bisa diikutkan CCI padahal dia seperti itu. Tak lama kemudian, Bu Nur datang dan meminta kami untuk memanggil Lutfi, anak kelas 7. Setelah memanggil Lutfi, kami menunggu kedatangan Pak Eko karena Pak Eko-lah yang mengantar kami. Tak lama kemudian, Pak Eko datang membawa mobilnya. Sebenarnya mobil itu hanya muat maksimal 6 orang. Tapi jika kami (kecuali Ghulaman karena ia diantar ibunya ke tempat lomba), Pak Eko, dan Bu Nur dijumlahkan, maka hasilnya adalah 8 orang. Terpaksa kami harus berdesak-desakan. Ternyata tidak cukup juga. Rouf akhirnya duduk di bawah.
“ Aduh ooppp....oopp....” Teriakku kencang-kencang karena Roup menduduki kakiku. Tapi akhirnya aku diam. Lagipula perjalanan ke SMPN 1 hanya sebentar. Diperjalanan kami bercerita sedikit. Tak lama kemudian, kami sampai di SMPN 1. Terdapat spanduk bertuliskan Gebyar Muharram yang di gantung di gapura pintu masuk. Lalu kami masuk ke dalam. Suasananya sepi sekali.
“ Al, masa lalu kita ya.” Kataku kepada Aliya. Memang sekolah ini adalah masa laluku dan Aliya. Kami sempat mendaftar sekolah akselerasi disini. Sayangnya kami tidak diterima karena tes kami ada yang gagal. Tapi sekarang aku malah bersyukur tidak diterima di akselerasi. Maklum saja, di sekolahku, SMPN 2 saja aku sudah merasa keberatan dengan pekerjaan rumahnya. Apalagi kalau di sini. Tentu akan lebih berat lagi. Karena sekolah yang seharusnya ditempuh tiga tahun, hanya bisa ditempuh dua tahun. Tugas akan semakin berat.
Kembali ke lomba. Ternyata suasana sepi yang tercipta di bagian depan SMPN 1 itu dikarenakan pembukaan sudah berlangsung. Setelah itu kami diberi nomor peserta. Semua mendapatkan nomor 16. Lalu kami duduk di musholla spiji (singkatan dari SMPN 1 itu) dan bertemu dengan Ghulaman. Baru saja kami duduk, acara pembukaan ditutup. Disusul dengan pengumuman tempat lomba. Tempat lomba CCI, kaligrafi ,dan PILDARAJA berada di dalam area spiji. Sedangkan tempat lomba MTQ berada di musholla kantor dinas yang berada di depan spiji. Aku mendengus lagi. Kali ini benar-benar mendebarkan. Terpisah dari teman-teman saat lomba dan tempat lombanya berada di kantor dinas. Aku hanya bisa menerima apa adanya.
Setelah sampai di sana, aku menunggu sambil duduk di depan musholla dinas sambil menahan rasa deg-degan yang terus menghantui. Lama sekali, pikirku. Sekitar setengah jam kemudian, juri lomba datang meyiapkan segala keperluan lomba. Lalu membuka acara tersebut. Sebenarnya ada yang kurang dari keperluan lomba, yaitu lampu. Tapi panitia akan menggantinya dengan ketukan. Saat lomba dimulai, ternyata peserta nomor 1 sampai 3 tidak datang. Jadi langsung peserta nomor 4 yang maju. Di tengah lomba, aku menyadari ada yang salah. Panitia tidak memberi ketukan. Tapi menurutku itu tidak masalah. Nyatanya, itu tak mengganggu jalannya lomba sama sekali. Aku menunggu giliran sambil sesekali menguap. Sepertinya aku terlalu capek untuk deg-degan. Tiba saatnya peserta nomor 13. Setelah itu, panitia memanggil peserta nomor 15 yang berarti peserta nomor 14 tidak datang. Deg!! Itu berarti setelah itu adalah giliranku. Rasa kantuk yang menyelimutiku seketika berubah menjadi deg-degan. Aku menunggu peserta nomor 15 selesai dengan tangan yang dingin sedingin es.
Peserta nomor 15 selesai menampilkan performanya. Kini giliranku. Aku menarik nafas panjang-panjang untuk meredakan deg-deganku ini. Entah kenapa, kalau lomba aku selalu begini walaupun ini sudah yang keenam kalinya. Sama seperti jika aku maju di presentasi di depan teman-temanku. Mungkin aku punya demam panggung yang sulit di sembuhkan. Huhh... benar-benar merepotkan.
Kembali ke lomba, aku membuka Al-Qur’anku. Lalu aku memegang microphone. Ternyata demam panggungku ini belum hilang. Microphone yang ada di tanganku ini bergetar, walaupun mungkin gerakan itu hampir tidak bisa dilihat orang lain. Aku mulai menampilkan performaku, walaupun dengan perasaan gugup. Tapi untunglah, aku berhasil melaluinya dengan lancar. Bahkan lebih lancar dari biasanya. Biasanya suaraku akan agak melenceng di nada tertinggi. Tapi untunglah hal ini tidak sampai terjadi.
Setelah aku selesai tampil, Bu Nur mengajakku kembali ke spiji. Tentu saja aku mengiyakan. Aku ingin segera melihat teman-teman saat berlomba. Tapi setelah aku sampai di spiji, raut wajah Aliya, Roup, dan Shihab sangat aneh. Mereka langsung mendatangi Bu Nur dan berkali-kali meminta maaf. Wajah mereka juga terlihat panik. Aku sampai terheran-heran sendiri.
“ Bu, maaf bu.... kami tidak lolos.”
“ Iya Bu, maaaffff banget bu....”
“ Aduh, mau ditaruh mana muka kita....”
Mereka semua mengatakan semua itu hampir bersamaan dengan muka yang terlihat panik, murung, dan pucat pasi. Semua itu mungkin berat bagi mereka. Mereka terlalu berat menerima kenyataan pahit itu. Tentu aku juga memakluminya. Dulu waktu aku berlomba pertama kalinya, aku juga sangat takut kepada kekalahan. Aku takut mengecewakan guru yang mendampingiku dan ternyata benar, aku kalah di babak kedua. Tapi perkataan guru yang mendampingiku itu membuat rasa takutku pada kekalahan hilang tak berbekas. Padahal itu hanya beberapa kata. Yah... itulah guruku. Walaupun beliau terkenal agak galak, tapi aku tidak berpikir demikian dan pikiranku itu terbukti benar. Beliau membuatku bertahan di saat lomba sampai sekarang meskipun sekarang aku sudah SMP. Sebenarnya aku ingin menerapkan perkataan beliau untuk teman-temanku ini. Sayangnya aku tidak punya nyali untuk mengatakannya. Nyaliku telah menciut sejak lomba tadi. Terpaksa aku membiarkan hal ini terjadi, walaupun aku tidak menginginkannya.
Setelah itu Aliya membagikan uang yang diberikan Bu Nur kepada kami. Masing-masing anak Rp 10.000. Lalu Aliya mengajak kami ke kantin spiji. Aku dan Lutfi mengiyakan. Sedangkan Shihab dan Roup manolak. Mereka memilih melihat Ghulaman melukis kaligrafi walaupun sebenarnya Ghulaman sudah hampir selesai. Sepertinya mereka masih terpukul dengan kekalahan mereka. Aku, Aliya, dan Lutfi pergi ke kantin spiji tanpa mereka. Suasana di kantin spiji agak suram. Maklum saja, aku ini orang yang bisa merasakan kehadiran hal-hal seperti itu. Hanya saja jika soal kesedihan, mungkin aku bisa menahannya karena aku sempat mengalami kesedihan yang sangat mendalam dan bertahun-tahun. Kembali ke kantin. Aku memutuskan untuk membeli permen dan minuman. Sedangkan Aliya dan Lutfi membeli makanan ringan dan minuman. Setelah itu, kami keluar dan langsung berkumpul bersama yang lainnya. Ghulaman sudah terlihat membereskan alat lukisnya. Padahal waktunya masih lama. Kulihat lukisannya, benar-benar indah. Hanya saja kaligrafinya (maaf) agak jelek. Aku takjub padanya. Dia bisa melukis serumit itu dengan waktu yang sesingkat ini.
Roup dan Shihab sudah tidak terlihat sedih lagi dan mereka sudah mau memakan sesuatu walaupun itu meminta kepada kami. Mungkin karena kesedihan mereka belum sepenuhnya hilang. Makanya mereka malas ke kantin spiji. Tapi kasihan juga mereka, harus merasakan ini semua. Tapi aku yakin ini akan segera berakhir. Karena kami semua sudah berkumpul, kami memulai pembicaraan.
“ Tadi itu waktu aku ke kantin, penjaganya jutek banget.” Kata Lutfi memulai pembicaraan.
“ Tadi, aku liat ada guru yang mukanya menyebalkan banget. Dia pakai kacamata dan cara jalannya itu lo, lucu banget. Kayak gini.” Kata Roup melanjutkan pembicaraan sambil memperagakan cara berjalan guru yang dilihatnya itu. Kami semua tertawa tapi Roup celingak-celinguk. Memastikan kalau guru yang dimaksudnya itu tidak ada di dekatnya. Untung saja guru yang dimaksudnya itu tidak ada di dekat kami. Tapi tiba-tiba Roup memandangi sesuatu.
“ Liat, itu dia guru itu!” Kata Roup sambil menunjuk seorang guru yang berada di musholla. Spontan kami langsung mengarahkan pandangan kepadanya. Untung saja jarak kami jauh dari guru  itu sehingga kelakuan kami ini mungkin tidak ketahuan olehnya. Memang benar yang dikatakan Roup. Guru itu terlihat lucu dari penampilan, tapi terlihat galak dari wajah. Sekarang guru itu terlihat panik karena anak didiknya yang mengikuti lomba kaligrafi mengalami kekurangan bahan yaitu cat pernis. Cat pernisnya tidak bisa dipakai. Langsung saja teman guru itu mengambilkan pernis lainnya. Enak sekali anak itu, desahku.
Suasana yang semula suram karena rasa bersalah dan kesedihan yang terpancar dari wajah Aliya, Roup, dan Shihab seketika berubah menjadi suasana yang penuh canda tawa dan senyuman. Aku pun tak pernah berbicara seluwes ini kepada mereka semua. Apalagi jika kepada Lutfi, anak kelas 7 yang baru kukenal hari ini dan kepada Ghulaman. Aku baru kali ini bicara padanya. Seperti inilah aku jika dalam perlombaan. Tiba-tiba bisa berinteraksi dengan mudah padahal biasanya malah kebalikannya. Ya, aku ini orang yang sulit berinteraksi. Hanya saja, jika lomba seperti ini, aku merasa senang sekali dan secara otomatis aku dapat berinteraksi dengan mudah kepada mereka.
“ Kalian nggak pulang?” Tanya Bu Nur.
“ Pulang Bu. Tapi jangan sekarang, karena kami nggak bawa pelajaran.” Jawab kami serempak.
“ Nanti pulangnya diantar suami Bu Nur atau jalan kaki?” Tanya Bu Nur lagi.
“ Jalan kaki saja bu.” Jawab Aliya, Shihab, dan Roup. Aku tahu maksud mereka. Mereka ingin mengulur waktu pulang ke sekolah dengan jalan kaki agar tidak ikut pelajaran. Aku tertawa dalam hati.
Tak lama kemudian, kami memutuskan untuk pulang ke sekolah. Sepanjang perjalanan kami terus mengobrol, tak peduli apa yang dibicarakan untuk membuat perjalanan ini semakin asyik dan ramai. Ditengah perjalanan, Roup dan Shihab berhenti di sebuah toko. Sepertinya mereka lapar karena tadi mereka tidak membeli makanan dan minuman di spiji. Aliya juga ikut membeli. Kami melanjutkan perjalanan lagi. Tapi tiba-tiba Shihab usil. Dia merebut minuman soda milik Roup karena minumnya sudah habis. Lalu mengocoknya hingga berbusa dan membukanya. Mereka berdua berebut meminum soda yang tumpah itu. Jorok sekali.
Hanya berselang beberapa menit, kami sampai di sekolah kami. Ternyata capek juga berjalan dari spiji ke sekolah. Ternyata perkiraan waktu kami tepat. Bel pulang sekolah baru saja berbunyi yang tandanya kami tak usah mengikuti pelajaran hari ini. Aku langsung membeli makanan pesanan ibu dan adikku. Tapi ada panggilan dari dalam sekolah agar semua murid segera masuk ke kelas masing-masing. Aku berlari ke kelas. Ucapan dari teman-teman menyambutku. Lalu dipimpin kepala sekolah, kami berdo’a bersama agar guru kami dapat mengikuti tes CPNS besok dengan lancar. Setelah itu, aku turun dan keluar dari sekolah dan pulang dengan menaiki angkot. Tanda tanya besar menyelimuti hatiku.
“ Apakah aku bisa menang kali ini?”


--Terima Kasih Telah Membaca ^_^--
-- Mohon Maaf Sebesar-Besarnya Jika ada Kesalahan dalam Cerpen saya ini--

1 komentar:

  1. Terima kasih buat Roup, Aliya, Shihab, Bu Nur, dll yang ada di cerpen ini. Karena kalau nggak ada kalian, cerpen ini nggak bisa jadi ^_^

    BalasHapus