Glass Enchanter
First from all…
Hari ini
kepindahanku untuk yang sekian kalinya. Berpindah dari satu tempat ke tempat
lain yang lebih asing sudah menjadi kebiasaan keluargaku, sejak sesuatu terjadi
yang bahkan tak satupun keluargaku tahu masalah ini. Aku hanya bisa pasrah
dengan keadaan yang tidak menguntungkan ini, dan tak pernah bertanya mengapa
orang tuaku sampai tega melakukan ini. Saat ini keuangan keluargaku sedang
menipis, dan kami terus berpindah-pindah. Harapanku? Saat ini cukup satu,
berhenti berpindah atau aku yang akan mencari sumber penghidupan keluarga.
Hanya saja, apa orang tua akan mengijinkan? Sementara aku hanyalah anak kelas 4
SD yang bahkan tuna sosial. Hanya orang tuaku satu-satunya teman manusiaku,
hanya mereka…
Untungnya ada mantan tetangga yang
berbaik hati memberikan rumahnya untuk kami, tentu karena merasa kasihan. Rumah
yang besar, tapi terlihat sudah lama tak ditinggali. Tak masalah, bersih-bersih
tidak ada apa-apanya bagi kami. Cukup itu, dan kami bisa tinggal dengan nyaman,
bahkan fasilitas terpenuhi. Lega, benar-benar lega.
Akhirnya kami dapat tinggal dengan tenang. Rumah ini kalau tidak salah berada
di Jalan Touji, dan nomornya C30. Setidaknya aku perlu mengingatnya, kalau
tidak tersesat adalah ujung dari perjalananku sepulang sekolah. Huft, mungkin
sedikit perkenalan dengan tetangga akan membantu.
Tak lama setelah gumaman aneh dari
pikiranku bergulir, pintu rumah diketuk. Apa dia salah orang? Ah, tidak
mungkin. Rumah ini kan kosong. Lalu, apa yang dipikirannya? Ah, sebaiknya
kubuka saja. Siapa tahu, ada sesuatu yang penting.
Perlahan, kubuka pintu itu dengan
malu-malu. Tampak dibaliknya, seorang anak laki-laki tersenyum ramah. Kutarik
diriku sembunyi dibalik pintu, hingga hanya menyisakan sebelah wajahku yang
bisa dilihatnya. Entah kenapa, ada perasaan-perasaan aneh yang bercampur aduk.
Di satu sisi, kutahu perasaan itu adalah perwujudan dari rasa trauma yang
menuntunku menjadi tuna sosial. Di satu sisi, perasaan itu tak pernah kurasakan
dari orang selain Ibu dan Ayahku, perasaan senang dan bahagia yang membuat pipi
memerah dan bulu kuduk berdiri.
“Permisi, apa kamu penduduk baru?” Tanyanya ramah, sembari
menampakkan senyuman manis, manis sekali.
“I…, iya. Ada apa?” Jawabku tersenyum kecut,
sedikit takut. Entah sudah berapa lama bibir ini tak menampakkan senyuman lagi
sebelum ini.
“Boleh aku masuk? Sepertinya kau belum pernah menyambut
tamu.” Tanyanya sembari
sedikit mengintip rumah baruku yang masih berantakan ini, ekspresi penasarannya
itu membuatku sedikit bernostalgia pada masa laluku yang bahagia. Ah, pikiran
apa ini? Aku harus membuangnya jauh-jauh sebelum penyesalan itu datang kembali,
harus!
“Eng…, silahkan. Tapi maaf
jika kamu tidak merasa nyaman, disini agak berantakan.” Jawabku berusaha
menghalanginya masuk.
“Tidak masalah…, asal kau menerimaku.” Balasnya, masih
tersenyum. Dan dia pun masuk sambil melihat-lihat keadaan rumahku, sejauh yang
dia bisa lihat.
“Ada apa? Kau tidak suka rumahku yang kotor ini? Kalau
tidak suka, pergilah!”
Kataku dingin, sama seperti jika orang lain meminta bantuanku. Kenapa? Karena
pada akhirnya aku ini hanyalah sepah, yang akan dibuang setelah manis. Habis
manis, sepah dibuang, itulah kata pepatah. Mau tidak mau, sifat ini harus
kupertahankan agar tak menjadi sepah.
“Tidak, justru aku suka. Suasananya berbeda untuk ukuran
rumah baru. Ini nyaman! Lagipula, kau tahu…, rumahku lebih
berantakan.”
Balasnya sambil tertawa kecil. Kemudian ia duduk di sofa ruang tamu, dan lompat-lompat
selayaknya anak kecil. Aku hanya terdiam, kagum. Apa benar anak ini berbeda?
“Sebentar, kupanggilkan Ibu dan Ayah dulu.” Kataku.
“Tidak! Tidak usah repot-repot. Tujuanku hanya untuk
berkenalan denganmu. Jujur, aku ini sedikit canggung jika berhadapan dengan
orang dewasa. Nah, duduklah sebentar disampingku.” Katanya. Canggung, karena ini pertama kalinya setelah
sekian lama ada orang yang seramah ini padaku. Menunduk, diam, tak ada
kata-kata, itulah yang kulakukan. Aku hanya berharap, Ibu ada disini sekarang.
Aku malu, aku canggung.
“Ne~ perkenalkan, aku Rikumichi, rumahku dua blok ke
kanan dari sini, Blok C28. Lahir 9 tahun yang lalu pada bulan Januari. Salam
kenal…”
“Aku…, Rena. Lahir 9 tahun
lalu pada bulan Mei. Salam kenal…”
“Wah wah, kita seumuran ternyata. Ngomong-ngomong, kau
akan sekolah dimana, Rena?” Tanyanya santai.
“Touji Elementary School, kelas 4A.” Jawabku singkat.
“Benarkah? Kalau begitu, kita sekelas, Rena-chan.” Balasnya senang, dan
menampakkan ‘senyuman
mengerikan’ itu
lagi. Aku tak membalas kata-katanya. Trauma, kekejaman, dan segala ketakutanku
pada orang tentu masih melekat pada hati dan pikiranku. Aku tak boleh termakan
kata-katanya…. “Oh iya, aku punya sesuatu
untukmu sebagai tanda perkenalan.”
“Huh?” Aku sedikit heran. Baru beberapa jam menginjakkan kaki
disini, sudah dapat tanda perkenalan dari tetangga? Tidak salah?
Segera ia berlari ke luar rumah,
mengambil sesuatu yang sengaja ditinggalkan disitu tadi. Aku hanya
mengikutinya. Susah payah anak laki-laki itu membawa tanda perkenalannya
untukku. Sebuah pot, dan tanaman diatasnya. Entah tanaman apa itu, dan aku tak
mengerti kenapa tanaman bisa menjadi sebuah tanda perkenalan?
“Ini, tanam ini di halaman rumahmu. Ini pohon sakura,
pada waktunya nanti kau pasti akan lihat keindahannya. Ini memang kecil, tapi
suatu saat nanti akan jadi besar mengikuti pertumbuhanmu. Ini budaya keluarga,
dimana ada tetangga baru kami harus memberikan pohon ini, dan untungnya keluargaku
punya banyak stok pohon sakura. Ssstt…, pohon ini punya
kekuatan khusus. Konon, jika kau gantungkan kertas harapan yang dibungkus
plastik ke pohon ini dan tak lama kemudian ada angin sepoi-sepoi meniupnya,
niscaya harapan itu akan terkabul!” Katanya bersemangat.
“Um, terima kasih. Aku akan segera menanamnya.” Balasku malu-malu. Ada
sebersit harapan dalam lubuk hati, mungkinkah ini akan jadi tempat tinggalku
untuk selamanya? Apa pohon ini dapat mengabulkannya? Tapi jika tidak terkabul,
maka pohon ini takkan melihatku tumbuh bersamanya. Huft, ini sulit.
“Bila Ibumu bertanya, bilang saja ini pohon sakura tanda
perkenalan dari tetangga di Blok C28, oke?” Katanya sambil berlalu.
“Ba…, baik.” Kataku lirih.
“Ngomong-ngomong,
karena kau sedikit lebih muda dariku, kupanggil adik ya? Sampai jumpa besok di
sekolah!” Dia mengintip di balik
pagar, padahal kukira dia sudah sampai di rumahnya…
The past, and me…
Hmm, adik? Bagaimana seseorang yang asing bisa memanggilku adik? Ah,
sudahlah, itu terserah dia. Yang penting sekarang, aku harus segera
mengeluarkan pohon ini dari potnya, dan segera menanamnya di kebun depan. Ibu
baru selesai bersih-bersih, dan menemuiku di teras depan, sepertinya beliau
belum tahu tentang pohon ini.
“Rena, ini pohon dari
mana?” Kata beliau berwibawa,
inilah yang aku suka dari Ibuku.
“Anu Bu, tadi ada anak
tetangga Blok C28 kemari memberikan pohon sakura ini sebagai tanda perkenalan,
untuk menjalankan budaya di keluarganya. Bagaimana Bu? Boleh kutanam di halaman
depan?” Tanyaku berharap.
“Boleh, tapi apa Rena
bisa menanamnya?” Kata
Ibuku balik bertanya. Aku hanya menggeleng ringan. Ibuku hanya tertawa kecil,
dan membantu menanam pohon tersebut. “Sudah ya, Rena. Ibu kedalam dulu. Untuk penyelesaian menanam,
lebih baik kau menyiraminya sekarang.” Lanjut beliau.
“Baik Bu.” Jawabku tersenyum lega
dalam hati. Itu berarti aku dapat melakukan apapun pada pohon ini tanpa
sepengetahuan Ibu. Setelah kusiram, buku catatan beserta pulpen yang selalu ada
di saku kukeluarkan.
Kuharap, ini menjadi kepindahanku
yang terakhir untuk selamanya, ekonomi keluargaku akan membaik, dan aku takkan
jadi gadis kecil tuna sosial lagi…
Itu yang kutulis. Sederhana, tapi penuh makna. Kuselipkan diantara dedaunannya,
tanpa kugantung dan tanpa pembungkus seperti yang dikatakan anak bernama
Rikumichi itu. Ini untuk mengantisipasi agar tidak ketahuan siapapun. Tak lama
angin bertiup, membuat harapan dalam hati semakin besar. Kemudian kuayunkan
jariku sedikit, dan berucap, ‘mohon bantuannya’. Sekali lagi, angin lembut membelai pohon sakura baruku ini.
lanjutannya kapan? :3
BalasHapusAhh maafkan saya >< laptop saya rusak dan semua data karangan saya hilang jadi gk bisa lanjut lagi //mood rusak #auth
Hapus