Total Tayangan Halaman

Sabtu, 20 September 2014

Part 1 (First from All)


Glass Enchanter

First from all
Hari ini kepindahanku untuk yang sekian kalinya. Berpindah dari satu tempat ke tempat lain yang lebih asing sudah menjadi kebiasaan keluargaku, sejak sesuatu terjadi yang bahkan tak satupun keluargaku tahu masalah ini. Aku hanya bisa pasrah dengan keadaan yang tidak menguntungkan ini, dan tak pernah bertanya mengapa orang tuaku sampai tega melakukan ini. Saat ini keuangan keluargaku sedang menipis, dan kami terus berpindah-pindah. Harapanku? Saat ini cukup satu, berhenti berpindah atau aku yang akan mencari sumber penghidupan keluarga. Hanya saja, apa orang tua akan mengijinkan? Sementara aku hanyalah anak kelas 4 SD yang bahkan tuna sosial. Hanya orang tuaku satu-satunya teman manusiaku, hanya mereka
            Untungnya ada mantan tetangga yang berbaik hati memberikan rumahnya untuk kami, tentu karena merasa kasihan. Rumah yang besar, tapi terlihat sudah lama tak ditinggali. Tak masalah, bersih-bersih tidak ada apa-apanya bagi kami. Cukup itu, dan kami bisa tinggal dengan nyaman, bahkan fasilitas terpenuhi. Lega, benar-benar lega. Akhirnya kami dapat tinggal dengan tenang. Rumah ini kalau tidak salah berada di Jalan Touji, dan nomornya C30. Setidaknya aku perlu mengingatnya, kalau tidak tersesat adalah ujung dari perjalananku sepulang sekolah. Huft, mungkin sedikit perkenalan dengan tetangga akan membantu.
            Tak lama setelah gumaman aneh dari pikiranku bergulir, pintu rumah diketuk. Apa dia salah orang? Ah, tidak mungkin. Rumah ini kan kosong. Lalu, apa yang dipikirannya? Ah, sebaiknya kubuka saja. Siapa tahu, ada sesuatu yang penting.
            Perlahan, kubuka pintu itu dengan malu-malu. Tampak dibaliknya, seorang anak laki-laki tersenyum ramah. Kutarik diriku sembunyi dibalik pintu, hingga hanya menyisakan sebelah wajahku yang bisa dilihatnya. Entah kenapa, ada perasaan-perasaan aneh yang bercampur aduk. Di satu sisi, kutahu perasaan itu adalah perwujudan dari rasa trauma yang menuntunku menjadi tuna sosial. Di satu sisi, perasaan itu tak pernah kurasakan dari orang selain Ibu dan Ayahku, perasaan senang dan bahagia yang membuat pipi memerah dan bulu kuduk berdiri.
            Permisi, apa kamu penduduk baru? Tanyanya ramah, sembari menampakkan senyuman manis, manis sekali.
            I, iya. Ada apa? Jawabku tersenyum kecut, sedikit takut. Entah sudah berapa lama bibir ini tak menampakkan senyuman lagi sebelum ini.
            Boleh aku masuk? Sepertinya kau belum pernah menyambut tamu. Tanyanya sembari sedikit mengintip rumah baruku yang masih berantakan ini, ekspresi penasarannya itu membuatku sedikit bernostalgia pada masa laluku yang bahagia. Ah, pikiran apa ini? Aku harus membuangnya jauh-jauh sebelum penyesalan itu datang kembali, harus!
            Eng, silahkan. Tapi maaf jika kamu tidak merasa nyaman, disini agak berantakan. Jawabku berusaha menghalanginya masuk.
            Tidak masalah, asal kau menerimaku. Balasnya, masih tersenyum. Dan dia pun masuk sambil melihat-lihat keadaan rumahku, sejauh yang dia bisa lihat.
            Ada apa? Kau tidak suka rumahku yang kotor ini? Kalau tidak suka, pergilah! Kataku dingin, sama seperti jika orang lain meminta bantuanku. Kenapa? Karena pada akhirnya aku ini hanyalah sepah, yang akan dibuang setelah manis. Habis manis, sepah dibuang, itulah kata pepatah. Mau tidak mau, sifat ini harus kupertahankan agar tak menjadi sepah.
            Tidak, justru aku suka. Suasananya berbeda untuk ukuran rumah baru. Ini nyaman! Lagipula, kau tahu, rumahku lebih berantakan. Balasnya sambil tertawa kecil. Kemudian ia duduk di sofa ruang tamu, dan lompat-lompat selayaknya anak kecil. Aku hanya terdiam, kagum. Apa benar anak ini berbeda?
            Sebentar, kupanggilkan Ibu dan Ayah dulu. Kataku.
            Tidak! Tidak usah repot-repot. Tujuanku hanya untuk berkenalan denganmu. Jujur, aku ini sedikit canggung jika berhadapan dengan orang dewasa. Nah, duduklah sebentar disampingku. Katanya. Canggung, karena ini pertama kalinya setelah sekian lama ada orang yang seramah ini padaku. Menunduk, diam, tak ada kata-kata, itulah yang kulakukan. Aku hanya berharap, Ibu ada disini sekarang. Aku malu, aku canggung.
            Ne~ perkenalkan, aku Rikumichi, rumahku dua blok ke kanan dari sini, Blok C28. Lahir 9 tahun yang lalu pada bulan Januari. Salam kenal
            Aku, Rena. Lahir 9 tahun lalu pada bulan Mei. Salam kenal
            Wah wah, kita seumuran ternyata. Ngomong-ngomong, kau akan sekolah dimana, Rena? Tanyanya santai.
            Touji Elementary School, kelas 4A. Jawabku singkat.
            Benarkah? Kalau begitu, kita sekelas, Rena-chan. Balasnya senang, dan menampakkan senyuman mengerikan itu lagi. Aku tak membalas kata-katanya. Trauma, kekejaman, dan segala ketakutanku pada orang tentu masih melekat pada hati dan pikiranku. Aku tak boleh termakan kata-katanya. Oh iya, aku punya sesuatu untukmu sebagai tanda perkenalan.
            Huh? Aku sedikit heran. Baru beberapa jam menginjakkan kaki disini, sudah dapat tanda perkenalan dari tetangga? Tidak salah?
            Segera ia berlari ke luar rumah, mengambil sesuatu yang sengaja ditinggalkan disitu tadi. Aku hanya mengikutinya. Susah payah anak laki-laki itu membawa tanda perkenalannya untukku. Sebuah pot, dan tanaman diatasnya. Entah tanaman apa itu, dan aku tak mengerti kenapa tanaman bisa menjadi sebuah tanda perkenalan?
            Ini, tanam ini di halaman rumahmu. Ini pohon sakura, pada waktunya nanti kau pasti akan lihat keindahannya. Ini memang kecil, tapi suatu saat nanti akan jadi besar mengikuti pertumbuhanmu. Ini budaya keluarga, dimana ada tetangga baru kami harus memberikan pohon ini, dan untungnya keluargaku punya banyak stok pohon sakura. Ssstt, pohon ini punya kekuatan khusus. Konon, jika kau gantungkan kertas harapan yang dibungkus plastik ke pohon ini dan tak lama kemudian ada angin sepoi-sepoi meniupnya, niscaya harapan itu akan terkabul! Katanya bersemangat.
            Um, terima kasih. Aku akan segera menanamnya. Balasku malu-malu. Ada sebersit harapan dalam lubuk hati, mungkinkah ini akan jadi tempat tinggalku untuk selamanya? Apa pohon ini dapat mengabulkannya? Tapi jika tidak terkabul, maka pohon ini takkan melihatku tumbuh bersamanya. Huft, ini sulit.
            Bila Ibumu bertanya, bilang saja ini pohon sakura tanda perkenalan dari tetangga di Blok C28, oke? Katanya sambil berlalu.
            Ba, baik. Kataku lirih.
            Ngomong-ngomong, karena kau sedikit lebih muda dariku, kupanggil adik ya? Sampai jumpa besok di sekolah! Dia mengintip di balik pagar, padahal kukira dia sudah sampai di rumahnya
The past, and me
Hmm, adik? Bagaimana seseorang yang asing bisa memanggilku adik? Ah, sudahlah, itu terserah dia. Yang penting sekarang, aku harus segera mengeluarkan pohon ini dari potnya, dan segera menanamnya di kebun depan. Ibu baru selesai bersih-bersih, dan menemuiku di teras depan, sepertinya beliau belum tahu tentang pohon ini.
Rena, ini pohon dari mana? Kata beliau berwibawa, inilah yang aku suka dari Ibuku.
Anu Bu, tadi ada anak tetangga Blok C28 kemari memberikan pohon sakura ini sebagai tanda perkenalan, untuk menjalankan budaya di keluarganya. Bagaimana Bu? Boleh kutanam di halaman depan? Tanyaku berharap.
Boleh, tapi apa Rena bisa menanamnya? Kata Ibuku balik bertanya. Aku hanya menggeleng ringan. Ibuku hanya tertawa kecil, dan membantu menanam pohon tersebut. Sudah ya, Rena. Ibu kedalam dulu. Untuk penyelesaian menanam, lebih baik kau menyiraminya sekarang. Lanjut beliau.
Baik Bu. Jawabku tersenyum lega dalam hati. Itu berarti aku dapat melakukan apapun pada pohon ini tanpa sepengetahuan Ibu. Setelah kusiram, buku catatan beserta pulpen yang selalu ada di saku kukeluarkan.
Kuharap, ini menjadi kepindahanku yang terakhir untuk selamanya, ekonomi keluargaku akan membaik, dan aku takkan jadi gadis kecil tuna sosial lagi

Itu yang kutulis. Sederhana, tapi penuh makna. Kuselipkan diantara dedaunannya, tanpa kugantung dan tanpa pembungkus seperti yang dikatakan anak bernama Rikumichi itu. Ini untuk mengantisipasi agar tidak ketahuan siapapun. Tak lama angin bertiup, membuat harapan dalam hati semakin besar. Kemudian kuayunkan jariku sedikit, dan berucap, mohon bantuannya. Sekali lagi, angin lembut membelai pohon sakura baruku ini.

2 komentar:

  1. Balasan
    1. Ahh maafkan saya >< laptop saya rusak dan semua data karangan saya hilang jadi gk bisa lanjut lagi //mood rusak #auth

      Hapus